Pertanyaan Yang Tak Terkatakan (Part 1)

Pertanyaan Yang Tak Terkatakan (Part 1)
“Pernahkah suatu saat dalam hidupmu, hanya menginginkan dan menunggu satu hal, sebuah jawaban dari pertanyaan yang tak pernah bisa kau tanyakan?” tanyamu pada sosok gelisah di hadapanmu.



“Apakah itu menyiksamu?” tanyamu lagi, ketika ia berusaha memalingkan wajah. “Apakah itu membuatmu putus asa, karena kata-kata yang sudah menyusun dirinya sendiri dengan rapi menjadi kalimat pertanyaan terpaksa berbaris pulang dan masuk kembali ke bagian terdalam dalam benakmu. Dan diam di sana begitu lama. Menjadi ada dan tiada. Seperti hantu yang tinggal di dalam rumah tua. Yang kadang digosipkan ada namun tak pernah nyata, tapi selalu menghantui semua orang yang lewat di depan rumah tua itu?” cerososmu.

Dan seperti kamu, sosok itu hanya diam. Menunduk. Ketika kau menatapnya lagi. Ia balas menatap. Ketika kau hendak menyentuh wajahnya, ia hanya diam menatap tangan bertemu tangan. Ketika kamu berpaling, ia pun memunggungimu dalam diam.

“Apakah itu membuatmu marah? Karena bahkan kalimat-kalimat tanya yang berdiang di kepalamu tak mampu memutar dirinya sendiri menjadi jawaban. Berkeras diam dalam siklusnya. Seperti air yang tak mau menguap atau logam yang berkeras menjadi karat dan tak rela dirinya melebur ke tempat asalnya, tanah?” tanyamu sekali lagi. Lagi dan lagi dengan rentetan pertanyaan yang tak berhenti. Namun tak kian dijawab.

“Apakah satu-satunya hal yang bisa kau lakukan hanyalah membuat wawancara imajiner dengan dirimu sendiri? Berulang kali menghujani dirimu sendiri dengan pertanyaan yang tak pernah kau tahu jawabannya? Lalu memaki kasar dirimu karena tak pernah bisa memutuskan mana dan apa jawabannya?”

“Apakah hal lain yang kau harapkan terjadi dalam hidupmu adalah ketika kesempatan bertanya itu datang dan seseorang mau memberikan jawabannya dengan tulus dan jujur?”
Dan tiba-tiba kamu pun mengulang jawaban yang sudah kusimpan di kepalaku. “Lalu apa yang akan kau lakukan jika semua jawaban dari pertanyaan di atas itu adalah iya?”

“Bertanyalah, karena bertanya tidak akan membunuhmu,” begitu kata suara lain di balik kepalamu.

“Tapi tidak,” kataku keras. “Kau tak punya keberanian!”

“Ya, memang dan pertanyaan, seperti kait-kait melengkung yang menancap di tubuhku, membunuhmu dengan sakit yang perlahan-lahan.” jelasmu. Kau lalu melanjutkan dengan mimik kesakitan. “Pangkal kaitnya, menyisakan noktah-noktah luka pada sekujur dirimu, darah menetes dari sana, tanpa sadar, noktah-noktah luka itu telah meninggalkan genangan besar tepat di tempat kita berdiri. Dan kau tak pernah menyadari telah kehabisan darah sampai suatu saat kau tak lagi ingat bahwa pertanyaan itu telah sekian tahun hidup di bagian terdalam dirimu. Menyatu dalam sakit-sakit dan racun yang bertahun-tahun tak pernah kau buang. Bergelung dalam nyamannya ketidak tahuan. Tidur dalam kebodohan.”

“Seringnya," potongku. "Kau sendiri yang tak pernah menyadari bahwa mengajukan pertanyaan sungguh lebih mudah ketimbang menyusun jawaban.” katamu ringan.

“Apa maksudmu?” tanyaku.

“Tanyakan saja pada seseorang yang pernah ditanyakan hal ini : Apakah kamu jatuh hati padaku?

Aku terdiam menatapmu yang mulai meluruh terhapus dera air hujan yang menerpa kaca jendela. Di luar hujan begitu deras, melabur debu-debu dedaunan, menghayutkan kerikil-kerikil kecil ke selokan. Aku tetap diam bersama dengan pertanyaan tak terkatakanku.

No comments

Powered by Blogger.